KPUD NTT Bekerja Dalam Tekanan

Kupang, Lentira
Nuansa dan suhu politik menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Nusa Tenggara Timur makin memanas, hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai demonstrasi dari berbagai kalangan serta diskusi-diskusi politik yang dibangun oleh masyarakat. Tahapan Pilkada tentang jadwal kampanye yang telah dikeluarkan oleh pihak Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) menandakan bahwa Pilkada NTT akan berlangsung.
Salah satu pengamat politik NTT, Drs. Yusuf Kuahaty, SU yang ditemui media ini beberapa pekan lalu mengatakan, jika dilihat maka KPUD NTT sekarang bekerja dibawah sebuah tekanan yang sangat berat. Sehingga sebagai manusia terkadang berada dalam suatu kebingungan.
“Tidak ada suatu kestabilan emosi yang tercipta pada masa-masa ini, karena itu menurut saya, kalau kita mau pihak ini bekerja secara maksimal maka kita harus membangun suatu atmosfer iklim yang kondusif sehingga setiap persoalan yang dihadapi dapat diselesaikan dengan baik dan selalu ada jalan keluar yang tidak merugikan semua pihak,” kata Yusuf Kuahaty.
Menurut dia tekanan-tekanan itu adalah, preasure terhadap pihak KPUD dalam bentuk aksi protes dan mobilisasi masa atau demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai aliansi yang notabene mewakili masyarakat NTT.
“Saya tidak bermaksud membela KPUD tetapi sebagai seorang pengamat politik dan ilmuwan yang ingin proses ini berjalan dengan damai, sehingga kita harus berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku dan belajar untuk mentaati setiap aturan tersebut,” ujarnya.
Ketika proses ini berjalan tidak aman maka, KPUD akan mengalami jalan buntu untuk mencari solusi-solusi yang terbaik. Hal ini menjadi penting dan perlu dicerna oleh setiap lapisan masyarakat.
Kuahaty menjelaskan, suhu politik di NTT makin memanas terkait dengan akan diadakannya pesta demokrasi tingkat daerah. Suhu politik di NTT makin naik dan menajam, setelah penetapan hingga penentuan jadwal kampanye oleh pihak KPUD NTT. Perhelatan politik ini terjadi karena keputusan yang dikeluarkan oleh pihak KPUD mengenai tiga paket bakal calon (Paket Fren, Tulus dan Gaul) tersebut belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat dan bakal calon lain.
Ia mengisahkan, setelah penetapan tiga bakal calon tersebut ternyata ada respon dari sisi penegakan hukum, dimana satu paket berupaya untuk membawa keputusan KPUD itu ke meja pengadilan. Paket itu adalah paket Harkat (Benny K. Harman dan Alfred Kasse) yang akan melakukan upaya hukum sehingga paling tidak keputusan tersebut harus akan menjadi bahan pertimbangan. “Paket Harkat yang mau membawa keputusan KPUD ke meja pengadilan karena dinilai cacat hukum. Berkaitan dengan masalah tersebut maka sebagai negara hukum, hal ini perlu dilihat dan dipertimbangkan ketika benar masalah tersebut sudah ditangani oleh pengadilan,” tandasnya.
Di lain sisi, pihak KPUD sudah menetapkan deadline waktu dalam proses pilkada, kalau dimundurkan atau ditunda maka akan membuat pekerjaan besar serta menyita enegi dan tenaga lagi baik itu dari pihak penyelenggara maupun masyarakat. Ketika ditanya mengenai dampaknya, Kuahaty menjelaskan, hal ini menjadi menarik ketika diperbincangkan.
Munculnya berbagai penilaian yang bersifat positif maupun negatif terhadap proses demokrasi yang sementara berlangsung, baik di Indonesia pada umumnya dan di NTT pada khusunya. Penilaian itu antara lain, demokrasi yang merupakan dambaan warga negara untuk keluar dari krisis multi dimensi ini ternyata dirasakan bahwa masyarakat pada umumnya belum siap berdemokrasi. Perilaku dan budaya demokrasi belum tumbuh dalam diri setiap warga negara sehingga manfaatnyapun sampai saat ini belum dirasakan dalam hal pembangunan daerah tetapi justru membuat masyarakat saling memisahkan diri.
“Kondisi masyarakat sekarang diibaratkan berada dalam sebuah kotak atau sekat-sekat yang saling memisahkan. Perjalanan pendidikan politik kita masih sangat rendah dan belum berjalan dengan baik. Karena itu, banyak orang menanyakan, seberapa jauh perkembangan pendidikan politik daerah kita ini (NTT) dan seberapa jauh tanggungjawab para elite politik dan juga Partai Politik (Parpol) dalam mendidik masyarakat tentang politik. Andaikata, tanggungjawab ini sudah dilaksanakan oleh semua lembaga-lembaga politik dan pemerintah maka dengan sendirinya aksi dan protes dari masyarakat dapat diminimalisir,” ungkap Kuahaty.
Kuahaty menambahkan, banyak orang menilai kalau orang NTT identik dan sangat dekat dengan kekerasan sehingga semua proses itu harus diambil lewat suatu perilaku kekerasan. Pemikiran dan tindakan ini harus dikurangi karena tidak pernah mendatangkan keuntungan malah kerugian yang akan diterima. Masyarakat juga tidak melihat lagi prinsip-prinsip demokrasi yang sebenarnya tetapi sebaliknya masyarakat melihat suatu perhelatan politik yang dinilai akan mempunyai kekuasaan tertinggi didaerah ini.
Pilkada ini dijadikan suatu arena dimana orientasi kekuasaan begitu kuat tidak berpegang pada prinsip dan aturan demokrasi tersebut. Proses ini melahirkan sebuah penilaian yang tidak menguntungkan untuk perkembangan demokrasi di daerah ini.
“Kita berada pada masa transisi sehingga marilah kita semua melihat ini sebagai sebuah proses tetapi tidak boleh dibiarkan berlangsung tanpa aturan main yang jelas. Karena itu saya minta untuk kita semua kembali melihat hal ini dan belajar untuk manaati setiap aturan yang ada, sehingga proses pilkada ini benar-benar mengakomodir semua kebutuhan masyarakat kedepan,” ucapnya.
Setiap aturan politik yang ada, Kuahaty menilai belum tegas, dimana setiap Parpol ketika melanggar suatu aturan dan mekanisme partai, apakah partai tersebut berhak mengusung suatu paket dalam pilkada atau tidak. Hal ini tidak dikemukakan dalam aturan atau peraturan yang ada, karena itu parpol bebas menafsirkan hal tersebut.
Selain itu belum ada sanksi bagi parpol yang melanggar aturan seperti dualisme kepemimpinan tetapi diikutsertakan dalam suatu proses demokrasi. Hal ini dapat membuka ruang bagi setiap masyarakat untuk mencari bagian dalam penciptaan masalah yang baru sehingga hal ini perlu diperhatikan. (ena)