Jangan Kotak-kotakkan Cama

Kesempatan Berkuliah Ekonomi Lemah Harus Tetap Terbuka
Perbandingan kuota saringan nasional dan jalur khusus (seleksi mandiri) untuk masuk perguruan tinggi negeri (PTN) harus berimbang. Kesempatan bagi calon mahasiswa (cama) kalangan ekonomi lemah untuk berkuliah harus tetap terbuka. Demikian diungkapkan praktisi dan pengamat pendidikan Prof. Dr. Eddy Jusuf di Kampus Universitas Pasundan Jln. Tamansari Kota Bandung, Rabu (21/5).
Menurut Eddy, jalur khusus masuk PTN dengan kuota lebih besar terkesan sebagai pengotak-ngotakan kalangan calon mahasiswa baru. Perbandingan kuota 70-30 di beberapa PTN (lihat tabel), kata Eddy, sangat tidak adil. Hal itu jelas mempersempit peluang masuknya calon mahasiswa dari kalangan miskin. Kesempatan justru lebih besar di jalur khusus dengan biaya lebih tinggi.
Beberapa PTN, kata dia, memang menerapkan subsidi silang. Dana yang diperoleh dari mahasiswa kaya digunakan untuk membantu mahasiswa ekonomi lemah. Namun dengan kuota yang tidak berimbang, jumlah calon mahasiswa potensial yang bisa dibantu sangat sedikit. "Percuma saja yang membantu banyak, tetapi yang dibantu sedikit," ucapnya.
Kuota 30 persen untuk saringan nasional, dinilai Eddy terlalu kecil untuk menampung mahasiswa berpotensi dari kalangan ekonomi lemah. Dengan jumlah tersebut, masih banyak mahasiswa berpotensi lain yang tidak bisa masuk PTN. Pendidikan murah terkesan sekadar wacana karena rata-rata biaya pendidikan S-1 PTN sekarang tidak berbeda jauh dengan PTS.
Diakses semua
Anggota DPRD Kota Bandung, Arif Ramdhani mengatakan bahwa pemberlakuan otonomi kampus PTN bukan untuk membatasi kalangan yang bisa masuk berkuliah. PTN seharusnya tetap dapat diakses semua golongan masyarakat.
Kenyataannya, Arif menilai otonomi kampus saat ini justru mempersulit akses pendidikan tinggi bagi kalangan ekonomi lemah. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk mengikuti tes jalur khusus (seleksi mandiri), membuat jalur tersebut seakan terbatas bagi mereka yang punya uang.
Menurut Arif, dalam undang-undang disebutkan bahwa seluruh warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Namun, adanya jalur khusus justru membuat kalangan yang tidak punya uang makin susah masuk PTN.
Pakar pendidikan Prof. Dr. S. Hamid Hasan mengatakan bahwa jalur khusus yang diberlakukan oleh PTN seharusnya untuk siswa yang berprestasi dari kalangan tidak mampu untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. "Menjadi tanggung jawab moral bagi perguruan tinggi untuk memberikan peluang bagi siswa yang cemerlang tetapi tidak mampu," ujarnya.
Perguruan tinggi, khususnya PTN, harus mengubah paradigma. Penyediaan jalur khusus bukan berarti jalur untuk mendapatkan uang. Akan tetapi, jalur untuk mengakomodasi anak berprestasi yang tidak mampu, tetapi ingin melanjutkan pendidikannya ke PT. (CA-177/CA-178/CA-186)