Editorial

Rakyat Semakin Susah
Pemerintah hanya memikirkan sesuatu tanpa memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat saat ini. Dimana-mana masyarakat berteriak karena harga barang kebutuhan pokok semakin naik. Misalnya, dalam rencana waktu dekat pemerintah menaikan bahan bakar minyak (BBM). Kendatipun baru dalam rencana, harga BBM sudah mulai mahal, maka secara tidak langsung masyarakat semakin ditindas oleh penentu kebijakan.
Sebenarnya pemerintah belum memaksa untuk menaikan harga BBM, karena kondisi ekonomi masyarakat sangat memprihatinkan. Khususnya di NTT, dari 4 juta lebih penduduk 65 persen kehidupan masyarakat adalah bertani. Penghasilannya juga pas-pasan. Apalagi masih banyak yang harus dipikirkan yakni menyekolahkan anak, dan lain sebagainya.
Pemerintah hanya mengeluarkan suatu peraturan demi kepentingan dirinya tanpa melihat kondisi kehidupan masyarakat yang semakin hari semakin susah.
Dimana-mana masyarakat mengeluh tentang harga minyak, dan bahan kebutuhan pokok lainnya. Karena pemerintah kurang kontrol maka sebelum ada keputusan untuk menaikan harga barang, namun pelaku usaha sudah lebih dahulu menjual barang dengan harga yang cukup mahal. Hal yang sangat menyakitkan adalah menjelang pemilu, baik bupati, gubernur ataupun Presiden, mulai terjadi politik yang tidak sehat yang akhirnya mengorbankan rakyat.
Para pejabat, baik DPR ataupun Pemerintah menjadikan isu kenaikan barang kebutuan pokok sebagai lahan bisnis. Ada yang dengan sengaja setuju kalau harga barang naik, dan ada yang menolak. Pada hal semuanya itu hanya demi kepentingan eli-elit politik, dan hanya mau memanfaatkan kesempatan melalui kebutuhan masyarakt.
Ketika memasuki tahapan proses pemilihan, maka rakyat hanya diberi janji-janji yang semu, dan pada akhirnya tidak ada realisasi apa-apa. Para pejabat mulai bersaing mencari kesalahan satu sama yang lain.
Kendati wakil Presiden Republik Indonesia Yusuf Kalla, pernah mengeluarkan pernyataannya dibeberapa Televisi Nasional, yang menyatakan bahwa walaupun harga Bahan Bakar Mintak (BBM) akan dinaikkan bahkan tidak disubsisdi lagi, tetapi bagi masyarakat kecil akan diberikan subsidi dan kenaikan ini juga akan memberikan dampak posistif bagi masyarakat kecil.
Yusuf Kalla menjelaskan, BBM tidak lagi mendapat subsidi agar subsidi tersebut dapat dipergunakan untuk keperluan lainnya, karena banyak masyarakat kalangan atas atau pejabat-pejabat juga ikut menikmati BBM bersubsidi ini tentu saja menyalahi aturan.
Dari data yang diperoleh, ada beberapa daerah di Indonesia, termasuk NTT, harga BBM sudah mencapai Rp. 7.500-20.000 per liter. Nampak pula antrian panjang di daerah-daerah tertentu. Misalnya di Belu, Sabu dan daerah lainnya, karena BBM selain mahal tapi jug sulit didapat. Rakyat sebagi konsumen mengatri di Satuan Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dalam waktu yang cukup lama.
Akhirnya seragam coklat ( Polisi) juga membuat pagar betis untuk menjaga masyarakt dikhwatirkan menimbulkan kekacauan. Intinya Polisi juga bukan berfungsi untuk menjaga kemanan, masyarakat membeli minyakpun harus dijaga. Tetapi pemerintah tidak pernah melihat ini sebagi sesuatu yang konyol.
Para kuli tinta ketika menulis dan memberitakn kalau BBM langkah dan mahal maka pihak yang terkait mulai angkat bicara, seolah-olah wartwan yang salah menulis dan mencari kesalah para pengambil kebijakan.
Berbagai alibi dari pemerintah, bahwa BBM selalu ada dan harganya masih stabil. Jika demikian maka, siapa yang menjual dengan harga yang mahal. Apakah ada calo, apakah ada penimbunan yang dilakukan oleh pihak yang bertanggungjawab. Inilah adalah kelemahan pemerintah dan DPR dalam pengawasan.
Pemerintah hanya memikirkan secara nasional tentang harga barang, tetapi tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat sehari-hari. Akhirnya yang kaya tetap kaya, yang miskin tambah miskin, angka kemiskinan memang sudah menurun tapi menurunnya sampai ke anak cucu dan hal ini merupakan tradisi yang tidak punah bagi daerah NTT tercinta ini. (**)