Opini

Efektif, Harga BBM Naik Diikuti BLT
Oleh: Adrianus Dwi Siswanto
Akhir minggu lalu (9 Mei 2008) pasar kembali dikejutkan dengan naiknya harga minyak dunia yang menembus angka USD 125 per barel. Meroketnya harga minyak dari sebelumnya sekitar USD 120 per barel tersebut dipicu spekulasi bahwa ekspor minyak Nigeria akan terhenti.
Padahal, Nigeria adalah negara pengekspor minyak terbesar kedelapan di dunia. Minyak mentah (crude oil) Nigeria sangat disukai negara-negara pengimpor minyak karena mudah diolah menjadi bahan bakar minyak (BBM). Nigeria mengekspor sekitar 42% minyak mentah ke AS. Dengan demikian, memang cukup beralasan bila spekulasi tentang minyak Nigeria dapat memukul harga minyak mentah dunia.
Pada saat yang sama, situasi makroekonomi AS memperlihatkan kondisi yang juga suram. Realisasi pertumbuhan ekonomi triwulanan pertama 2008 hanya 0,6% yang menandakan ekonomi sudah dalam situasi resesi. Hal ini diperburuk dengan tingkat pengangguran yang telah mencapai 4,9 persen. Kondisi ini memperburuk kinerja nilai tukar dolar Amerika yang akhirnya turut meningkatkan harga minyak mentah dunia.
Untuk mengatasi gejala resesi ekonomi tersebut, Menkeu AS Paulson mengambil langkah kebijakan ekspansi guna menstimulus perekonomian agar paling tidak tercapai angka pertumbuhan 2% - 3%. Diharapkan pasar merespons kebijakan moneter dan fiskal yang diterapkan. Pada saat yang sama harga komoditas pangan juga ikut naik 50%-100% dalam 12 bulan terakhir ini. Pasar global semakin diperparah akibat krisis subprime mortgage yang melanda AS.
Sinyal ekonomi tersebut memberikan tanda bahwa perekonomian global sedang menuju resesi bila perekonomian AS tidak kunjung membaik. AS masih jadi penggerak utama perekonomian global. Karena itu, penting mencermati posisi Indonesia di tengah lemahnya agregat demand Amerika yang masih diyakini mengontrol perekonomian global.
Implikasinya bisa menurunkan permintaan atas barang-barang ekspor Indonesia, baik ekspor langsung maupun tidak langsung. Apalagi struktur ekspor Indonesia di samping masih kuat pada produk-produk primer juga mayoritas eksporter belum beranjak dari negara tertentu. Melemahnya ekspor bisa mengganggu neraca pembayaran yang pada akhirnya memengaruhi cadangan devisi Indonesia.
Di sisi lain pemerintah belum dapat melepaskan diri dari persoalan rendahnya kekuatan fiskal yang mampu menstimulus perekonomian. Dari sisi pendapatan, penerimaan pajak belum mencerminkan potensi yang sesungguhnya. Pada sisi belanja, beban pemerintah sangat besar untuk menanggung subsidi konsumsi BBM. Pemerintah hanya punya fiscal space yang sangat sempit dan miskin sumber.

Pilihan Kebijakan
Sejalan dengan Departemen Keuangan AS yang mengeluarkan kebijakan fiskal ekspansi lewat tax refund agar setiap keluarga purchasing power-nya naik, pemerintah Indonesia juga akan menghapus subsidi BBM dan meluncurkan program bantuan langsung tunai (BLT).
Sama dengan di AS, kebijakan ini diyakini bisa menjaga agar paling tidak dampak yang diterima masyarakat miskin relatif ringan. BLT diharapkan mempertahankan daya beli masyarakat agar konsumsinya tidak menurun. Naiknya konsumsi akan mendorong produksi lebih banyak dan pada akhirnya perekonomian kembali pulih. Sangat sederhana dan jelas pilihan kebijakan yang diambil.
Pemerintah mengambil opsi menaikkan harga BBM sebagaimana dilakukan beberapa negara di kawasan Asia, seperti Singapura, Thailand, Filipina, dan Kamboja yang menerapkan mekanisme pasar terhadap pasar BBM-nya. Artinya, harga ditentukan oleh tarik-menarik penawaran dan permintaan BBM di pasar. Pemerintah tidak lagi ingin ikut menentukan tingkat harga yang harus dibayar konsumen.
Sedangkan Malaysia yang menerapkan kebijakan harga terkendali telah merencanakan mencabut subsidi BBM, khususnya solar, selanjutnya premium. Hal yang sama akan dilakukan Vietnam dan India yang bulan depan menaikkan harga BBM mencapai 30%. China sendiri telah menaikkan harga BBM per November 2007.
Benar APBN secara nominal naik yang seolah-olah ada ekspansi. Namun, bila dicermati, kenaikan tersebut bukan untuk memengaruhi agregat demand. Ekspansi APBN dipakai untuk pembayaran subsidi BBM dan listrik yang terus meningkat pararel dengan kenaikan harga minyak.
Pada saat yang sama, pemerintah terus didesak untuk menstabilkan harga-harga komoditas primer lewat kebijakan subsidi pangan dan pengurangan beban pajak komoditas pangan. Subsidi menghabiskan belanja, di sisi lain penghapusan pajak menurunkan penerimaan.
Apabila kita perhatikan laporan riset BI, terdapat 8 komoditas primer yang produksinya tumbuh positif pada 2003. Namun, kondisi tersebut berubah hanya dalam waktu kurang dari lima tahun. Pemerintah menanggung beban atas meningkatnya harga produk-produk primer tersebut. Hal ini cermin dari pergerakan permintaan yang sedemikian cepat tanpa diimbangi produksi. Dalam kasus ini tampaknya pemerintah kurang merespons sinyal dari pasar sejak dini.
Belajar dari pengalaman sebelumnya pada 2005 ketika pemerintah menaikkan BBM, desain kebijakan yang saat ini diambil tampaknya lebih terintegrasi. Pola kebijakan parsial mulai ditinggalkan karena ternyata model tersebut menambah beban dalam jangka panjang.
Menaikkan harga BBM diikuti kebijakan BLT terbukti lebih efektif dibanding membiarkan APBN digerogoti pergerakan harga minyak dunia. Terutama mengantisipasi melonjaknya angka kemiskinan akibat kenaikan BBM.
Dalam laporan hasil studi Bank Dunia pada Juli 2007, dampak kenaikan harga BBM dan kompensasi BLT memberi manfaat bersih yang positif bagi 20 persen penduduk paling miskin. Kombinasi kenaikan BBM dan kompensasi BLT terbukti menjaga penduduk Indonesia yang rentan terhadap kemiskinan.
Karena itu, belanja pemerintah mesti bermanfaat bagi penduduk miskin. Untuk itu keputusan menaikkan harga BBM sekaligus menjaga purchasing power penduduk yang rentan terhadap kemiskinan, cukup dapat diterima.
Di sisi lain, kenaikan BBM otomatis mendorong konsumen menjadi lebih rasional. Ini penting karena selama ini masyarakat tidak dididik untuk rasional sehingga alokasi sumber-sumber ekonomi bukan pada tingkat penggunaan yang terbaik. Sumber-sumber ekonomi yang langka, seperti BBM, mestinya digunakan untuk penggunaan yang terbaik. Harga merupakan alat untuk menjamin perilaku konsumen bertindak rasional.
Bagi pemerintah sendiri, pilihan mengurangi subsidi BBM jelas ditujukan agar APBN bisa dipertahankan sebagai alat stimulus perekonomian. Untuk itu, pemerintah mesti berpijak pada government spending yang rasional juga. Kebijakan ini memang mengganggu masyarakat dan dunia usaha yang tidak efisien kerjanya. Dengan kondisi perekonomian global yang mengancam lingkungan domestik, pemerintah dituntut do something.
Penulis adalah Peneliti di Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Departemen Keuangan RI