Proyek Pengadaan dan Pemasangan Marka Jalan Dishub NTT

Harus Dilakukan Pelelangan Ulang
Kupang, Lentira

Wakil Ketua DPRD NTT, Markus Hendrik, mengatakan, Proyek Pengadaan dan Pemasangan Marka Jalan pada Sub Dinas Perhubungan Darat Dinas Perhubungan Propinsi NTT senilai Rp 3,3 miliar yang bersumber dari APBN tahun anggaran 2008 harus segera diulang karena dalam proses lelang kuat dugaan sarat mengandung unsur Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Pernyataan tersebut dikatakannya kepada Lentira diruang kerjanya, Kamis 15 Mei, menyikapi laporan masyarakat pengamat jasa konstruksi yang menilai keputusan panitia lelang yang diketuai Antonio Fernandez telah menyalahi aturan yang berlaku.
Menurut Markus Hendrik, kesalahan fatal yang dilakukan panitia adalah panitia telah menyalahi aturan yang telah ditentukan dalam Keppres nomor 80 tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah. Untuk itu lanjutnya panitia harus diproses sesuai aturan hukum yang berlaku serta proses lelang tersebut harus segera diulang.
Dijelaskan, dalam pelaksanaan proses lelang, penawaran seharusnya ditujukan kepada panitia bukan kepada kuasa pengguna anggaran seperti yang terjadi pada Subdin Perhubungan Darat Dinas Perhubungan NTT.
Sehingga Dewan menurut wakil ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Partai Damai Sejahtera (PDS) NTT ini, akan memanggil Dinas Perhubungan NTT untuk menjelaskan kesalahan yang dibuat oleh panitia apabila tidak melakukan proses ulang lelang. Selain itu Dewan tambahnya, akan menyerahkan kasus tersebut kepada aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti kasus tersebut.
Sebelumnya ketua Komisi B DPRD NTT, Drs Hendrik Rawambaku yang dimintai tanggapannya terkait persoalan tersebut diruang komisi B Selasa, 13 Mei menegaskan, apabila dalam proses tender atau lelang seperti yang terjadi pada Subdin Perhubungan Darat Dinas Perhubungan NTT menyalahi aturan yang ditelah diatur dalam Keppres 80 tahun 2003, maka proses lelang tersebut harus segera diulang.
Selain proses lelang harus diulang karena menyalahi aturan, panitia juga harus diperiksa oleh aparat penegak hukum serta menyita dokumen yang berkaitan dengan proses pelelangan.
“Panitia harus mengikuti aturan main yang ada dalam Keppres. Kalau memang yang mendaftar hanya 10 rekanan, maka saat penarikan amplop penawaran seharusnya tetap 10 amplop. Namun apabila benar ditemukan ada 11 amplop maka proses lelang harus diulang,” tegas Rawambaku.
Selain itu lanjutnya, bila dalam dokumen lelang panitia tidak menyampaikan penjelasan tentang total harga penawaran sendiri, maka panitia dianggap telah melanggar aturan. Sebab menurut Rawambaku, manakala ketika aturan dilanggar, maka disitulah bibit-bibit kericuhan akan muncul.
Untuk itu tegas Rawambaku, DPRD NTT dalam hal ini komisi B yang membidangi Perhubungan tidak tertutup kemungkinan akan memanggil Dinas Perhubungan untuk meminta penjelasan terkait persoalan tersebut.
Penegasan yang sama juga diungkapkan ketua DPRD NTT, Drs. Mel Adoe yang menyatakan akan memanggil Dinas Perhubungan NTT guna menjelaskan penyimpangan yang terjadi ketika proses lelang Proyek Pengadaan dan Pemasangan Marka Jalan di dinas Perhubungan NTT.
Menurut ketua DPRD, dalam proses tersebut bila ditemukan ada penyimpangan dari aturan yang telah ditetapkan, maka harus melakukan pelelangan ulang dan seluruh dokumen yang berkaitan dengan proses lelang harus disita serta aparat penegak hukum harus memeriksa ketua panitia beserta anggota yang terlibat dalam proses tersebut.
Berdasarkan surat sanggahan atas pengumuman pelelangan pengedaan dan pemasangan marka jalan 9.500 meter yang ditujukan kepada kuasa pengguna anggaran satker peningkatan prasarana lalu lintas angkutan jalan Dinas Perhubungan Propinsi NTT tahun anggaran 2008 yang kopiannya diperoleh Lentira, pada intinya menilai panitia gagal dalam menjalankan tugas dan fungsinya secara baik dan benar sehingga pelelangan dan hasil kerja panitia perlu ditinjau kembali dan atau dibatalkan.
Karena menurut mereka, panitia telah mengabaikan UU nomor 18 tahun 1999 tentang jasa konstruksi, Keppres no.80/2003 dan perubahannya tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah, PP nomor 29 tahun 2000 tentang penyelenggaraan jasa konstruksi, keputusan Menteri Kimpraswil nomor 339/KPTS/M/2003 tentang petunjuk pelaksanaan pengadaan jasa konstruksi oleh instansi pemerintah, nomor 257 dan 181 tahun 2004 tentang standard dan pedoman jasa konstruksi serta Peraturan Menteri Kimpraswil nomor 43/Prt/M/2007 tentang standard dan pedoman pengadaan jasa konstruksi dan panitia juga mengabaikan dokumen lelang dan berita acara rapat penjelasan pekerjaan (Aanwijzing).
Dengan demikian panitia dianggap telah melakukan pembohongan dan pembodohan. Padahal dalam dokumen lelang secara jelas dan sah telah mengikat pihak pengguna jasa dengan pihak penyedia jasa. (fwa)