Setelah Nikah Emas, Cerai karena HARTA WARISAN??

Jufri Deny H. Pakh, SP
Direktur Utama Lira Q / Program Manager Lira Q NTT

Tulisan ini saya tulis berdasarkan pemahaman pribadi, setelah melaksanakan rangkaian tugas pelayanana saya di hampir 80% wilayah di Propinsi tercinta Nusa Tenggara Timur.
Otonomi Daerah yang dicita-citakan sebagai salah satu bentuk pendekatan pelayanan pemerintah kepada masyarakat melalui sistem desentralisasi sejujurnya telah di rasuki keinginan dan kejahatan local kapitalis berduit untuk mengamini kehendaknya.
Desentralisasi yang dalam hal ini adalah pendekatan pelayanan justru dipolitisir sebagai bentuk bagaimana memekarkan sebuah wilayah, berbagi kekuasaan dan berbagi keuntungan. Apakah ada perbedaan jika dimekarkan dan tidak dimekarkan?? Apakah penambahan Gaji kepada aparatur pemerintah, pejabat, DPRD yang baru, perjalanan dinas yang baru dari pemerintah yang baru bukankah menambah biaya tetap (fix cost) pengeluaran di Negara ini?? Padahal apa yang telah “mereka” buat ketika dimekarkan, apakah mereka mampu menyerap potensi hasil masyarakat di wilayah tersebut lebih dari pengeluaran yang telah dikeluarkan untuk UPAH, JALAN-JALAN dan lain-lain?
Kerapkali kita juga teropini bahwa karena perjuangan segelintir orang yang mengatakan bahwa mereka-merekalah yang telah membuat termekarkannya suatu wilayah, namun hal yang patut dipertanyakan, apakah mereka mempunyai kapasitas dalam penentuan pemekaran suatu wilayah?? Padahal kita tahu bahwa pemekaran suatu wilayah sebenarnya ditentukan lewat suatu kajian ilmiah, studi lapangan oleh Pihak Pendidikan??
Kita patut berbenah dan patut mengkritisi hal ini, kita patut memberi apresiasi terhadap gejala ini, gejala GILA JABATAN dan KEDUDUKAN, untuk menjadi SUPERIOR atau SUPERHERO.
Jika ibarat pemerintah di wilayah ini adalah suatu lembaga business maka hal yang terutama dipikirkan oleh para birokrat ini yaitu KEMANDIRIAN LOKAL. Pola pikir Pemerintah Daerah harus mampu menggaji, membiayai setiap pengeluaran daerah yang bersifat tetap/fix maupun tidak tetap/variabel. Jika kita mau jujur apakah mereka yang “memerintah kita” pernah berhitung tentang pemasukan – pengeluaran dari lembaga yang mereka pimpin, jika pernah maka jujur saja dikatakan bahwa kita kebanyakan GALI LOBANG TUTUP LOBANG, program-program indah yang ditawarkan, disumbarkan kepada kita tanpa dibarengi dengan kekuatan business managerial maka dipastikan bahwa akan ada program lain yang dikorbankan. Jika A bergembira, maka tentu B menangis dan seterusnya.
Dampak ini semakin banyak lagi ketika regulasi yang semakin banyak serta hobbi baru yaitu “panja”, “pangkor”, betapa banyaknya panitia-panitia kecil di atas sebuah lembaga yang sudah ada dengan komisi-komisinya, apakah ini cerminan dari hobbi membentuk “panitia” untuk menyelesaikan suatu masalah, menambah perkara baru ataukah untuk cepat menghabiskan dana sisa?? Kita semua tahu bahwa catatan ini akan menorehkan luka bagi masyarakat tercinta. Pernahkah birokrat kita berhitung seperti ini? Kerapkali keterbatasan waktu pelayanan dalam periode masa tugas/jabatan membuat mereka hanya memikirkan bagaimana menghabiskan hak rakyat lewat dana negara sebanyak-banyaknya? Perilaku ini disebut biang korupsi dan tetap akan bertahan selama pola pikir penggunaan dana dari “orang lain” masih kita pertahankan. Belum terpikirkan bagaimana mengelola yang sudah ada untuk mengangkat jati diri kita yang telah dikatakan “termiskin”???
Nusa Tenggara Timur adalah suatu bentangan Flores, Sumba, Timor, Lembata, Alor, Rote, dan Sabu (FLOBAMORATA). Kado pernikahan emas FLOBARATA pada tahun 2008 adalah bagaimana kita tetap utuh dalam satu kesatuan Nusa Tenggara Timur. Kita telah dinikahkan dalam satu perasaan mencintai NTT selama 50 tahun, satu jiwa membangun NTT, satu logo, satu kesatuan dalam aparatur dan pelayanan. Ibarat orang yang sudah nikah selama 50 tahun, apakah kita rela bercerai hanya karena salah satu pihak mempunyai HARTA WARISAN???
Bersambung