Melongok Dari Situasi Politik Saat Ini

NTT Menuju Krisis Pemimpin
Isak Kaesmetan: Wartawan Lentira
Sewaktu-waktu NTT akan mengalami krisis kepemimpinan, karena para politisi dan birokrasi senior hanya memikirkan kekuasaan dan mengabaikan kaderisasi. Akhirnya daerah ini akan menerima kekosongan pemimpin yang ideal.
Seperti suhu politik yang ada di NTT saat ini semakin seru karena para politisi berlomba-lomba mencari kekuasaan dengan menggunakan kendaraan partai politik. Perlu juga diketahui bahwa pada jaman tempo doeloe, kalau seseorang menjadi raja, maka anaknya juga pasti menjadi raja. Pada era Orde Baru (Orba), siapa yang imannya kuat maka ia akan menjadi pemimpin, beda dengan masa revormasi yakni seseorang menjadi pemimpin, nasipnya ditentukan oleh masyarakat.
Terhitung sejak tahun 1958 sampai dengan 2008 NTT sudah dipimpin oleh 7 Gubernur. Yang pertama adalah W. J. Lalamentik dan pada 10 tahun belakangan ini sampai dengan tahun 2008 tongkat komando dikendalikan oleh Piet A. Tallo, SH. Sumber kuat koran ini memprediksi setelah berakhirnya masa jabatan Piet A. Tallo maka NTT secara pelan-pelan menuju ke krisis pemimpin. Yang menjadi faktor penyebab hal itu akan terjadi adalah para politisi dan birokrasi senior yang terdahulu tidak pernah memikirkan kaderisasi.
Para Politisi hanya mengejar kekusaan dan meraih kedudukan tanpa melihat kapan masa jabatan mereka berakhir. Sekarang, politisi-politisi kawakan sudah masuk pada usia senja, ibarat petinju yang sudah gantung sabuknya. Namun tidak ada satupun generasi dibelakangnya yang menjadi tumpuan daerah Flobamora ini.
Para pemimpin di NTT yang terdahulu menguasai daerah ini dengan waktu yang cukup lama yakni berkisar antara 5-10 tahun. Namun apa yang terjadi, setelah pensiun maka mencari pemimpin baru untuk mengganti posisinya harus melalui politik yang tidak sehat. Akhirnya menghasilkan pula pemimpin yang tidak sejalan dengan rakyat.
Hal yang sangat sederhana adalah jika ada kader yang disiapkan oleh para politisi yang terdahulu maka tidak sulit untuk menentukan atau mencalonkan seorang pemimpin seperti sekarang yang terjadi di NTT. Seperti contoh, ada beberapa partai politik yang adalah partai penguasa di NKRI ini, namun nampaknya sekarang sudah berangsur-angsur mengalami krisis pemimpin.
Itu juga kelemahannya adalah para pimpinan partai politik yang terdahulu hanya mengejar kekuasaan tanpa mengkaderkan generasi yang berikutnya sehingga akhirnya daerah ini akan mengalami krisis pemimpin partai dan penentuh kebijakan. Situasi dan demokrasi politik pada zaman sebelumnya sangat beda dengan sekarang. Dimana pada zaman sebelumnya sepertinya sangat elastis sebuah konsep perencnaan tentang kaderisasi pemimpin. Sebelum berakhirnya masa jabatan seorang pemimpin, pemimpin yang baru pun sudah disiapkan. Beda dengan sekarang, jangankan gubernur, calon bupati pun sangat sulit karena tidak ada kader yang dipersiapkan.
Para anggota DPRD dan pimpinan partai politik mulai berlomba-lomba mencalonkan diri menjadi bupati, walikota, dan gubernur. Namun Perlu diingat bahwa calon pemimpin yang sekarang harus mengetahui kekurangan dan kelemahan pada dirinya. Bukan karena partai besar yang ia tunggangi, bukan pula karena ia anggota DPR. Tidak selamanya seseorang pernah menjadi bupati lalu ia harus menjadi Gubernur, atau wakil gubernur dan dia harus menjadi gubernur. Untuk itu para pejabat jangan hanya sekedar janji-janji politik dengan masyarakat.
Para politisi sekarang ini hanya mau mengejar kekuasaannya saja dan tidak pernah memikirkan bagaimana mengkaderkan para generasi muda untuk melanjutkan pembangunan di NTT ini. Terutama pada kubuh partai-partai politik. Para politisi berlomba-lomba untuk mencari kedudukan dan kekuasaan akhirnya setelah mereka melewati masa tuanya maka tidak ada calon pemimpin di belakangnya.
Seperti sekarang ini untuk mencari calon pemimpin di daerah ini sangat sulit karena tidak ada kader pemimpin yang dikaderkan sebelumnya. Padahal mungkin juga ada calon pemimpin yang muda bisa juga ada semangat juang untuk membangun. Para politisi hanya bersaing antara sesama organisasi partai politik dan akhirnya para kader pemimpin yang yunior tersinggkir dari struktur kepengurusan partai.
Hal yang sama juga tentang putra daerah dari masing-masing daerah. Calon bupati saja sering muncul orang yang bukan politisi, provesi, atau birokrasi, tetapi ada juga dari kalangan artis atau pengusaha. Maka bisa diukur kemampuan idealisme cara berpikir dalam membangun suatu daerah. Semuanya itu karena akibat dari krisis calon pemimpin yang tidak pernah dipirkan oleh politisi-politisi senior yang terdahulu.
Padahal sebenarnya di NTT ini masih terdapat putra-putri terbaik yang mampu jika dicalonkan menjadi seorang pemimpin. Namun salah dimanfaatkan oleh para pemikir-pemikir yang terdahulu. Suatu tradisi yang sangat baku di daerah ini adalah para senior tidak pernah memikirkan untuk memberikan peluang kepada generasi-generasi muda. Akhirnya dengan sendiri generasi berikut merasa minder dan secara perlahan-lahan ia tersinggkir.
Jika terjadi krisis kepemimpinan maka yang jelas NTT akan terbelakang dari daerah-daerah lain, dan yang susah adalah rakyat. Realita yang terjadi saat ini jika diprediksi kedepan maka lima tahun yang akan datang krisis pemimpin melanda NTT. Kalau demikian mak sulit diperbaharui, dan menunjukkan suatu kegalan para pemikir atau politisi senior terdahulu. (***)