Editorial

Siapa Salah, Siapa Benar

Melihat fenomena politik yang terjadi saat ini sepertinya sangat membingungkan masyarakat, padahal masayarakat adalah unsur penentu bagi orang nomor satu di daerah Flobamora ini untuk menentukan nasip kurang lebih 4 juta penduduk di daerah ini. Dari sejak proses pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, semua orang sibuk terlebih masyarakat karena sedang menanti dengan penuh harapan agar orang yang didambkan bisa lolos dari proses ferivikasi di KPUD NTT. Bagi yang lolos merasa senang, dan yang tidak, pasti kecewa. Dan diperkirakan ada yang menempuh jalur hukum dengan menggunggat KPUD sebagai lembaga penyelenggara.
Dari awal proses pilkada tidak disangka kalau nantinya KPUD NTT diobok-obok karena semua orang berpikir kalau kesalahan yang terbesar ada pada partai politik yang punya dua lisme kepemimpinan. Ketika KPUD NTT didemo oleh sejumlah orang yang adalah pendukung dari para pasangan calon yang tidak lolos ferifikasi maka semua mata memandang kalau KPUD yang salah.
Diantaranya adalah KPUD menerima calon yang diusung dari partai politik yang belum mencapai 15 persen suara dan masih ada lagi kekeliruan yang dilakukan KPUD NTT.
Rakyatpun sepertinya hanya menanti siapa salah dan siapa yang benar. Dengan adanya tuntutan masyarakat maka KPUD menunda waktu proses penarikan nomor urut calon. Akhirnya tidak terasa bahwa uang rakyat sudah terpakai tetapi proses pilkada masih tidak berjalan.
Ada politisi yang mengatakan, mendukung keputusan KPUD, dan ada yang menolak, artinya masih ada perbedaan persepsi masyarakat tentang situasi politikyang terjadi di NTT saat ini.
Setidaknya semua elemen masyarakat tidak saling mempersalahkan satu sama yang lain. Tetapi mencari solusinya demi masa depan daerah ini. Tidak bisa dipungkiri karena situasi politik di NTT sangat sensitif jika dibandingkan dengan derah-daerah lain. Ketika KPUD NTT menenetapkan hanya tiga paket yang lolos verivikasi yakni Tulus dari Golkar, Fren dari PDIP, dana Gaul dari Gabungan Partai politik, maka peta politik di NTT mulai berubah. Yang lolos mulai bekerja yakni melakukan lobi-lobi politik dan menarik simpati masyarakat, dan yang tidak lolos mulai mobilisasi masa untuk keberatan, dan melakukan aksi demonstrasi.
Sudah ada tanda-tanda bahwa ada pihak (bakal) calon yang akan menempuh jalur hukum. Dan hanya dua jalur yang ia target yakni menggungat KUPD NTT, dan atau partai politik. Apakah saling menggugat juga adalah salah satu jalan terbaik dalam pengertian menyelesaikan persoalan. Hasil dari sebuah keputusan lembaga hukum adalah membatalkan atau melanjutkan proses pilkda.
Hal yang sangat disesalkan adalah tidak ada kepastian dari pimpinan partai politik untuk menetapkan pasangan bakal calon yang diusung, maka bakal calon semakin bingung. Apakah KPUD yang menjadi sasaran atau pimpinan partai politik. Keduanya ( KPUD dan Pimpinan Parpol) masing-masing mempertahankan haknya maka mungkin juga pada akhirnya yang sudah dinyatakan tidak lolos pasti semakin rumit untuk mendapatkan kepuasan menggapai keinginannya yakni ingin ditetapkan menjadi calon gubernur dan wakil gubernur.
Mungkin juga salah satu kesalahan yang ada pada bakal calon yakni belum membangun komonikasi yang baik dengan parpol. Atau bisa juga ada partai yang memilih abstain dalam pilkada dan hanya mau mempermainkan bakal calon dengan memberi harapan. Di samping itu juga perlu kelihaian dari bakal calon untuk melakukan lobi-lobi politik dengan semua unsur dalam partai politik. Intinya bahwa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah NTT periode 2008-2013 menjadi pengalaman pahit bagi semua orang, terutama bakal calon yang tidak lolos.
Biasanya sebelum pilkada, partai politik sepertinya sangat meyakinkan seseorang untuk diusung dari partai itu, namun menjelang hari pelaksanaanya maka partai tersebut juga mulai berubah arah. Pada awalnya pimpinan partai itu hanya satu dan akhirnya menjadi dualisme kepemimpinan. Itu karena mungkin sudah dilihat bahwa sudah saatnya partai politik yang mengahsilkan nilai rupiah.
Dengan demikian maka, untuk menentukan siapa yang salah dan siapa benar sangat sulit, karena sudah menjadi politik segi tiga. Sekarang kantor KPUD NTT dijadikan sebagai tempat bertanya bagi ribuan masyarakat yang merasa tidak puas dengan proses pilkada yang dilakukan. Namun bakal calon yang memobilisasi masa dan melakukan aksi demo tidak selamanya membuahkan hasil yang memuaskan juga.
Disebabkan karena semakin rumit unuk dipaksakan KPUD NTT untuk melakukan proses ulang dari awal. Ibarat KPUD NTT saatnya maju kena, mundur pun kena.
Semuanya tergantung pada metode yang digunakan KPUD NTT yang adalah lembaga penyelenggara pilkada. Selain KPUD, kantor DPRD NTT juga sebagai tempat sasaran masa melakukan demonstrasi politik. Karena DPRD adalah lembaga kontrol. Namun perlu diketahui, baik KPUD, DPRD ataupun pemerintah tidak menjadi jaminan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi saat ini, yang ada hanyalah aturan yang diterapkan oleh KPUD.
Kepada masyarakat agar yang salah tetap diminta umtuk diluruskan dan yang benar tetap dipertahankan. Karena kewenangan yang tertinggi ada pada rakyat. Siapa yang salah siapa benar dapat diketahui setelah ada jawaban dari KPUD NTT. (***)