Editorial

Pemimpin PD Dituntut Memiliki Kemampuan

Seorang pemimpin untuk sebuah Perusahaan Daerah (PD) dituntut untuk mampu mengangkat dan menaikan pendapatan ekonomi masyarakat. Dengan demikian maka, upaya yang harus dilakukan sehingga harapan ini dapat dicapai sudah tentu dengan kemampuan dan pengalamannya.
Hal ini menunjukan bahwa setiap pemimpin yang ada bukan semata dilihat dari spesifikasi dan disiplin ilmunya saja. Contohnya, bisa saja seorang sarjana hukum yang memiliki kemampuan untuk mengelola sebuah PD dengan pengalamannya akan mampu membawa prestasi yang gemilang.
Namun sayangnya prestasi tersebut tak kunjung sukses bahkan sampai dengan saat ini tidak dapat terwujud. Mengapa demikian karena sudah ada contoh konkrit yang dapat dilihat sekarang kalau beberapa PD di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan kinerjanya asal-asalan bahkan hampir-hampir tidak mampu lagi beroperasi.
Kondisi masyarakat bahkan jauh dari apa yang sebenarnya diharapkan. Kalau demikian sudah barang tentu masyarakat bukan saja tidak percaya dan bosan tetapi bahkan muak dan jenuh sehingga tidak lagi mempercayai program-program yang diperuntukan.
Dengan kondisi saat bahwa setiap PD di wilayah ini tidak memberikan dampak dan kontribusi nyata bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat maka timbul banyak pemikiran kalau untuk mengelola sebuah PD tidak hanya dengan konsep semata tetapi dapat diukur dengan kinerja yang selama ini ada.
Kalau demikian, marilah kita mencoba serta menelusuri perkembangan PD yang ada di wilayah NTT selama ini. Katakanlah PD Flobamora, PT Semen Kupang, PD Agrobisnis, PD Air Minum, PD Perikanan dan Kelautan dan PD Kantong Semen. Sampai dengan saat ini tidak dapat memberikan gambaran dan kontribusi nyata serta memberikan kontribusi nyata dari apa yang dibuat.
Jauh dari semuanya itu, pada setiap tahunnya anggaran yang diperuntukan bagi PD yang ada bukan sedikit. Inikan diibaratkan dengan istilah bahwa menerima tanpa memberikan kembali. Bisa saja seperti itu karena pengelolanya tidak mampu mengelola sehingga berdampak pada kondisi yang dilihat sekarang.
Kalau saja seperti itu berarti apa yang diharapkan oleh pemerintah daerah bahkan jauh dari sebenarnya. Bantuan dan penyertaan modal yang diberikan harus dipertanggungjawabkan dan dapat dikembalikan sehingga tidak berdampak pada pengelolaan keuangan yang sia-sia.
Apa jadinya kalau dari sekian PD yang diberikan bantuan dan dana penyertaan pada setiap tahun dan tidak mampu mengelola. Sudah pasti ada yang namanya pemborosan dan berdampak kemiskinan yang terus melanda masyarakat, bukan melepaskan masyarakat dari jerat kemiskinan.
Persoalan ini juga menjadi tanggungjawab pengambil kebijakan didaerah ini. Dengan melihat relitas diatas bahwa mengapa pemerintah belum berani mengambil kebijakan? Boleh jadi ada keberpihakan pada kepentingan siapa dan intervensi dari aktor kebijakan itu sendiri.
Tentunya tindakan seperti ini tidak salah namun cenderung mengarah pada suatu tindakan kekeliruan yang cenderung mengarah pada cara pandang berbeda. Sekalipun disana sini banyak orang menyebut-nyebut alasan atau argumentasi maupun dalih dari sejumlah kesalahan kebijakan.
Tetapi ketika keberatan atau penolakan itu terjadi dan menyentuh kebijakan pemerintah, tentunya berkaitan dengan kegagalan sebuah kebijakan dan sudah pasti persoalan ini berkaitan dengan evaluasi dari kebijakan yang diambil.
Untuk pelaksanaan kebijakan yang berpengaruh langsung dengan kebijakan ekonomi serta sistemnya sedikitnya berpengaruh langsung pada aktivitas ekonomi, serta sistemnya diikuti dengan pemaksaan kehendak.
Segala kebutuhan, kepentingan, keinginan dan tuntutan lainnya menjadi pembicaraan juga perbincangan masing-masing unsur menurut prespektifnya. Dinamika ini menjadi gambaran yang dapat mempengaruhi rangkaian sebuah proses.
Apakah nanti perkara ini menjadi rangkaian pemenuhan sebuah kepentingan, kebutuhan, keinginan dan tuntutan publik ataukah tidak tergantung pada substansi serta mekanisme yang paling mungkin dikembangkan dan menjadi perhatian.
Agaknya wajar jika dibilang terkesan pengambil kebijakan memiliki peran dominan, sebab seluruh aktivitas dan formulasi kebijakan berlangsung dalam struktur formal pemerintah. Meskipun demikian, akan selalu berhadapan dengan dilema pilihan kebijakan publik sehingga memaksa untuk mengembangkan prinsip sinergik.
Memang banyak solusi yang ditawarkan untuk meretas kerancuan tersebut sehingga dapat mengubah dinamika pandangan banyak kalangan menuju kearifan sikap mengkritisi suatu kebijakan pemerintah. Sayangnya semuanya berimplikasi pada solusi untuk meminimalisir kendala-kenadala yang ada sekarang. (**)