Editorial

Mengapa Pers Harus Disalahkan

Menjelang Pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah Nusa Tenggara Timur periode 2008-2013 pasaka kepemimpinan Piet A.. Tallo, SH dan Drs. Frans Lebu Raya sebenarnya menuju kepada prinsip demokrasi yang murni. Karena baru kali ini yang terjadi di NTT yakni pemimpin NNT I ditentukan oleh rakyat secara langsung.
Sayangnya karena terjadi perbedaan persepsi dalam kubuh beberapa partai poltik (Parpol) akhirnya berakibat pada lembaga penyelenggara Pilkada ini yakni KPU NTT sepertinya kehilangan arah dan ragu-ragu dalam mengambil sikap.
Apakah ini juga termasuk hiasan dalam politik demokrasi, atau karena semua keputusan yang dikeluarkan oleh KPU NTT tidak berdasarkan aturan yang ada. Disamping itu ada opini yang berkembang bahwa awal dari semuanya ini adalah kesalahan dari partai politik yang berdualisme kepemimpinan. Ada yang mengatakan ini adalah kesalah dari KPU. Demokrasi bukan berjalan seiring dengan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar tetapi harus berdasarkan pada aturan yang mengikat.
Ketika terjadi perbedaan persepsi dalam proses pilkada, maka para pemburu berita dari berbagai media baik lokal maupun nasional berlomba-lomba memberitakan seuai apa yang lihat, didengar dan dirasakan. Apa yang diberitakan oleh seorang wartawan sudah tentunya sesuai fakta dan berdasarkan sumber pemberi informasi.
Pekerja pers tidak pernah diajarkan untuk memvonis dalam memberitakan sesuatu yang terjadi. Yang diinginkan adalah berita itu berimbang, akurat, dan sesuai dengan fakta di lapangan.
Pekerja pers juga mengakui bahwa baik masyarakat biasa, politisi, birokrat, LSM, Pengusaha, dan siapa saja pasti selalu memandang pers dengan sebelah mata. Pekerja pers juga tidak ingin dijunjung, apalagi dipuji. Karena selain Dewan Pers, siapapun dia tidak berhak mengintervensi pekerja pers.
Akhir-akhir ini Kantor KPUD NTT ibarat tempat yang sudah dikontrak oleh masa pendukung dari bakal calon yang tidak puas dengan keputusan KPU NTT. Masyarakat di NTT semua sudah tahu kapan ada demontrasi, dan kapan ada tindakan dari KPU itu sendiri.
Karena masyarakat atau masa yang melakukan orasi politik dan menuntut agar KPU menentukan sikapnya sesuai dengan aturan yang berlaku. Dan saat itu juga media massa mulai memberitakan. Sayangnya, masih ada oknum-oknum tertentu yang menganggap bahwa medi massa memberitakan dengan tidak berimbang. Bahkan disoroti kalau media memberitakan hanya untuk kepentingan pihak tertentu. Pers juga membutuhkan dukungan moril dari semua pihak asalkan tidak mengintervensi pekerja pers. Pada pekan lalu, massa yang berorasi di depan Kantor KPUD NTT, secara langsung menuduh bahwa pemberitaan melalui media massa tidak berimbang.
Pertanyaannya adalah, apa yang tidak berimbang, atau mungkin juga ada pihak yang menginginkan agar pers memberitakan dengan sekaligus memvonis suatu peristiwa, belum tentu hal itu terjadi. Karena pekerja pers bekerja sesuai dengan kode etik yang sebenarnya. Kendatipun masih ada kekurangan, kelemahan, dan kekeliruan dalam suatu pemberitaan, sangat wajar karena pekerja pers juga sebagai manusia biasa.
Asalkan jangan ada pihak yang beranggapan bahwa pers memberitakan dengan tidak berimbang.
Selain dari hal-hal yang didengar oleh wartawan di lapangan, sangat disesali pula karena beberapa waktu yang lalu ratusan masa yang melakukan aksi protes di KPU NTT, sebelum tiba di kantor KPU NTT, sempat melakukan demonstrasi di Kantor salah satu koran harian ternama di NTT. Dalam aksinya mereka mengatakan kalau pemberitaan media tersebut tidak berimbang. Sepengetahuan pekerja pers adalah jika seseorang melakukan keberatan terhadap sebuah tulisan di media massa, bukan melalui demontrasi apalagi melempar batu.
Kondisi ini menggambarkan bahwa politik demokrasi di NTT adalah mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, dan akhirnya tidak ada yang punya andil untuk memediasi guna mencari solusinya. Akibatnya KPUD NTT dianggap salah, Pimpinan Parpol juga salah dan kesalahan terbesar dianggap ada pada media massa.
Tidak ada salahnya kalau ada pihak yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan medi massa, maka ia boleh melakukan hak jawab. Asalkan jangan menuntut pers agar memberitakan sesuai dengan kemauan pihak tersebut.
Media massa juga sadar bahwa hal itu terjadi karena mungkin tidak ada jalan keluar lagi bagi pihak-pihak yang berkeberatan kepada KPU. Sehingga langsung memvonis bahwa kesalahan ada pada pihak media. Lalu apa yang dilihat didengar, dan dirasakan dari KPUD NTT dan partai-partai politik. Apakah kesalahan tersebut bukan bermula dari dualisme kepemimpinan Parpol dan berakhir dengan keputusan dari KPU. Tidak selamanya media massa yang salah, khususnya menjelang pilkada di NTT.
Perlu disadari kalau tanpa media massa maka banyak hal yang terkubur sedalam-dalamnya terutama dikalangan politisi-politisi dan birokrat. Namun sayangnya tidak ada seorang pun yang merasa berterima kasih kepada pekerja pers. Yang dimaksud dengan rasa terima kasih itu adalah hanyalah dukungan moril. (**)